Monday, June 20, 2011

Hey, It's Us!

As we start our crazy days to prepare the wedding, we want to share this craziness to you. :D

Oh by the way, let me introduce the bride and groom to-be.

The bride:

The groom:

How we met and fell in love
Pertengahan 2008, saya -si jemaat hilang dari HKBP- terjebak harus menghadiri acara naposo (pemuda) wilayah gereja. Seumur hidup nggak suka gereja di HKBP dan berasa nggak perlu kenal, bikin saya jadi orang linglung di pertemuan itu. Mungkin supaya saya nggak ngilang-ngilang lagi, dijadikanlah saya pengurus pemuda wilayah. Malesin banget kan, ya?

Biasalah sebagai newbie perempuan muda kinclong *berasa cucian*, pasti banyak yang deketin. #GRmampus. Tapi sayang seribu sayang, saya nggak cari pacar tuh di situ. Prinsipnya adalah tidak berkencan dengan orang Batak. Nggak tahu kenapa saya antipati aja. Lagian waktu itu saya udah punya pacar.

Desember 2008, mulai kedegeran desas-desus kalau si Abe naksir saya. Abe ini sesama anggota naposo wilayah itu. Hm, lalu saya menengok kanan-kiri, siapa itu Abe? #gagaul Eh, kebetulan ada acara Christmas Potluck di rumahnya. Saya dan teman-teman perempuan pun akhirnya datang. Pengen numpang makan sih sebenernya. #gataumalu

Eh, ternyata di acara itu ada games. AAAAA! Saya nggak suka games. Sebagai anak pemalu, males banget kan harus dikerjain di depan orang-orang nggak dikenal. Apa kata dunia nanti? #lebay Nah, pas disuruh ambil undian. Saya dapat nomor 15. Sialnya (eh, apa untungnya ya sekarang?), dia juga dapat nomor 15. Gamesnya disuruh joged bareng. AAAAAA! Pengen nyungsep ke tanah nggak, sih? Di situ saya bilang ke dia, "Aku nggak bisa joged". Dia bilang, "Aku juga". Udah gitu aja dan habis itu saya dicuekin. Ih ih ihhhh! Somsenya orang ini.

Setelah acara berakhir, tepat jam 3 pagi Abe sms saya ngajak kenalan. Kenalan yang aneh karena sebenarnya kita berdua juga udah kenal tapi nggak pernah ngobrol aja. Tapi anehnya, saya ladenin juga sambil senyum-senyum nggak jelas. Bahkan besoknya, ketika dia tiba-tiba sms ngajak gereja bareng di kebaktian tahun baru, saya iya-kan pula. Selama duduk bareng, itu momen paling canggung sedunia. Dia ngomong sepatah-patah dan saya kebosanan setengah mati. Belum lagi, dia malah ngajak saya ngerayain tahun baru sama dia. Ihhh, yang tentu saja saya tolak. Alasannya sih, ada kebaktian keluarga. Dia bilang, dia juga ada kebaktian keluarga, jalan-jalannya setelah itu. Teteeep dong saya tolak.

Eh, pas saya udah di rumah, tiba-tiba dia bilang kalau dia udah di depan rumah saya. Dia bawa cake dan pamit ke orang tua saya untuk ngajak saya jalan-jalan. Lah, ini gimana nolaknya. Jadilah untuk pertama kalinya, saya jalan-jalan di malam tahun baru dan pulang jam 5.30 pagi. Mana cuma makan indomie di Karawaci pula. Aneh kan, ya? -__________________-

Sejak itu, kita mulai sering telepon, sms, dan chatting. There's something about him that I can't resist. Oh, dan hubungan dengan pacar saya hancur berantakan, jauh sebelum kita mulai makin dekat. Sebenernya, dia yang bikin saya bangkit dari patah hati, sih.

Udah, segampang itu jadiannya? Nggak banget. Kita mulai dekat, mulai sering jalan bareng, mulai ditanya-tanyai orang apa hubungan kita, dan bahkan kita nggak tahu jawabannya. Habis patah hati, saya nggak mau langsung jadian. Tapi saya menikmati semua perhatian dia yang nggak ada habisnya. Mungkin waktu itu status kita HTS, TTM, atau apalah itu namanya.

Nggak sekali dua kali dia tanyain, status kita apa. Selalu saya jawab, open relationship. Dia boleh ketemu cewek lain lagi, dan saya boleh ketemu cowok lain lagi. At some point, ketika kita udah dekat banget, lebih dari sekedar teman, Abe mulai nggak nyaman dengan ketidak jelasan status. Kita ngobrol panjang lebar dan memutuskan, oke kita stop aja deh. Kita balik kayak dulu aja, temenan yang nggak perlu dekat-dekat banget.

Saya pikir, saya baik-baik aja habis itu. Ternyata saya malah nangis bombay semalaman. Kok berasa sakit, berasa sedih, berasa perih? Kita langsung nggak sms atau telepon lagi. Di hari kedua, dia yang nggak pernah nulis note di FB, nulis note, sebuah lirik lagu dan men-tag saya. Saying that I might not know how much he loved me. Langsung deh saya banjir air mata. Tapi masih terlalu gengsi untuk menghubungi dia.

Ternyata (aheeey!) dia ngerasain yang sama juga. Di hari ketiga, dia sms saya, nanya apa kabar. Saya bilang, nggak terlalu baik. Saya juga tanya kabar dia, dan dia bilang, rasanya perih. Dia ngajak saya ngobrol malamnya. Dia ngerti kenapa saya nggak bisa langsung pacaran, dia bisa ngerti kenapa saya butuh kenal lebih lama lagi, dan dia juga ngerti kenapa pertanyaan status itu cukup menekan saya.

Ajaibnya, sejak itu, hubungan kita makin dekat dan makin dekat. Tanpa pertanyaan soal status. Nggak tahu sejak kapan, dia mulai memperkenalkan saya sebagai pacarnya dan saya nggak menolak. Tentu saja saya pun begitu. Saya mulai membiarkan dia jemput saya ke rumah waktu malam minggu dan kenal sama orang tua saya.

Nah, hampir 3 tahun pacaran, selalu ada ups and downs-nya. Tahun 2010 itu tahun paling berat. Kita sering berantem dan masalah rasanya nggak berhenti datang. But then we realized, after every problem we always stayed together. So, we thought, let's grow old together.

So, let's begin this wedding preparation. Hope it doesn't make us too crazy.

No comments:

Post a Comment